Senin, 24 Mei 2010

Sejarah Sultan Badrudin II

Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7. pada masa Kerajaan Sriwijaya pula Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Demikian pula kerajaan Majapahit dan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.
Namun pada masa itu pulau Bangka baru sedikit mendapat perhatian, meskipun letaknya yang strategis ditengah-tengah alur lalu lintas setelah orang-orang daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia dengan ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian dari para bajak laut yang menimbulkan penderitaan bagi penduduknya.
Untuk mengatasi kekacauan yang terjadi, Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja Alam Harimau Garang. Setelah melakukan tugasnya dengan baik, juga mengembangkan Agama Islam ditempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.
Karena merasa turut dirugikan dengan dirampasnya kapal-kapalmya maka Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut tersebut, kemudian Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda. Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat disana.
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ketangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, Abdurrachman (1659-1707), dengan sendirinya pulau Bangka menjadi bagian dari Kesultanan Palembang.
Pada tahun 1707 Sultan Abdurrachman wafat, dan ia digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur (1707-1715).
Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715-1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara formal sudah diangkat juga rakyat menjadi Sultan Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II lahir di Palembang pada hari Ahad malam, Jam 9.00 (1 Rejeb 1181 H / 9 Februari 1768 M.). Semasa kecilnya Ia diberi nama Raden Hasan bin Sultan Muhammad Bahauddin, kemudian ditunjuk sebagai pewaris Kesultanan Palembang dengan gelar Pangeran Ratu. Setelah Ia dinobatkan menjadi Sultan Palembang pada tanggal 22 Zulhijjah 1218 H bertepatan tanggal 4 April 1803 bergelar Sultan Mahmud Badaruddin. Selain sebagai Sultan Palembang Beliau adalah Al-Hafiz (Ulama) di Kesultanan Palembang-Darussalam. Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II adalah penguasa Kesultanan Palembang-Darussalam (1774-1803) setelah menggantikan ayahnya, Sultan Muhamad Bahauddin. Ketika naik takhta, ia sudah siap memerintah Kesultanan Palembang-Darussalam dengan segala permasalahan menghadapi Inggris dan Belanda. Sejak masih menjadi Pangeran Ratu ia telah biasa menghadapi kelicikan orang-orang Eropa. Warisan yang diterimanya bukan hanya kekuasaan, kekayaan, dan bakat sastrawan, tetapi juga ”permusuhan” dengan penjajah Eropa.
Pada tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang Sultan Johor merebut kembali Palembang dari pamannya.
Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.
Kemudian atas dasar Konversi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya ditahun 1803 termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil Timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Ingris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda. Yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan ang sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian utnuk mengusir Belanda dari daerahnya, dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.
Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Sultan Mahmud ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari Abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Cina bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.
Sekitar tahun 1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang johor atas pengalaman mereka di semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusaha membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timaha dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :
• Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
• Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, dimana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah taklluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffless merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik "Devide et Impera"nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang denga gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812).
Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama "Duke of Island" (20 Mei 1812).
Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen di Bangka membuat ia menjadi semakin berambisi untuk menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812, Ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robinson. Pengganti Merares ini kemudian melakukan serangkaian perundingan. SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813, hingga Agustus 1813. Sementara itu, Robinson dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.
Setelah Konvensi London Konvensi_London 13 Agustus 1814 yang mengharuskan Inggeris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803, pada. 19 Agustus 1816 Palembang diserhakan kembali pada Belanda.penyerahan ini terjadai setelah Rafles dihanti oleh John Fendal. yang kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah SMB II dengan Husin Diauddin. Setelah berhasil, SMB II naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda.
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, dan akhirnya dimenangkan oleh Palembang. Belanda yang tidak menerima kenyataan itu. beberapa waktu berikutnya, tepatnya tanggal 21 Oktober 1819 kembali menyerang Palembang, tetapi juga mengalami kegagalan. Begitu juga pada serangan ketiga mendapatkan kekalahan.
Selanjutnya untuk yang ke empat kalinya, pada tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera Merah Putih Biru (rod, wit, en blau) di Kuto Besak Kuto_Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Untuk menghindari konflik dengan keluarganya sendiri ( Husin Diauddin dan Prabu Anom beserta kerabat ) SMB II beserta keluarga dan Kerabatnya lebih memilih untuk tinggal diluar Istana Kesultanan Palembang Darussalam secara diam-diam ( pada akhir Romadhon 1236 H), Ia tinggal dan menetap sementara waktu di Guguk (Kampung) PANGERAN ADIPATI TUO ( sekarang dikenal dengan nama Kampung Depaten / Sekanak / 27 Ilir ). Dalam persembunyian rahasianya SMB II sempat menitipkan beberapa Kunci Istana Kuto Besak/Kutu Anyar kepada PANGERAN PRABU KESUMO ABDUL HAMID dan PANGERAN KRAMA JAYA.
Ketika Belanda Berhasil menyerang masuk ke Istana Belanda tidak berhasil menangkap SMB II dan keluarganya, kemudian ia Menyuruh Husin Diauddin untuk Membujuk SMB II untuk menyerahkan kekuasaannya, hal ini suatu pilihan yang dilematis bagi Husin Diauddin akhirnya Ia menyuruh PANGERAN WIRO KERAMO GOBER untuk menemui SMB II untuk mengambil beberapa benda pusaka yang dianggap penting, namun tidak berhasil PAngeran Wiro Keramo Gober hanya bisa menemui Pangeran Prabu Kesumo Abdul Hamid dan Pangeran Keramo Jayo dan hanya sebagaian kunci Istana yang bisa diambilnya, Meskipun Ia telah dikawal oleh beberapa orang Menteri, Priyai priyai dari laut ( pengikut SUSUHUNAN HUSIN DIAUDDIN dan SULTAN AHMAD NAJAMUDIN PRABU ANOM ) serta dengan pengawalan serdadu Belanda kurang lebih 200 ( dua ratus ) orang.
Pada Hari AHAD / MINGGU tanggal 23 Romaddan 1236 jam 01.00 siang Benteng Besak Kuto Anyar ( Istana Kesultanan Palembang Darussalam ) ditempati / diduduki Letnan Jenderal Baron De Kock bersama Susuhunan Husin Diauddin bin Sultan Muhammad Bahauddin. Karena merasa belum merasa aman atas kedudukannya di dalan Istana Baron memerintahakan pasukannya untuk menangkap SMB II yang sedang berada di rumah Pangeran Adipati Tuo di Kampung Depaten peristiwa terjadi pada Selasa malam tanggal 3 Syawal 1236 (13 Juli 1821), kemudian Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin yang dikenal SMB II beserta Keluarga dan Kerabatnya dinaikkan ke Kapal oleh Belanda, pada pagi harinya Rabu, 4 Syawal 1236 (14 Juli 1821) SMB II diberangkatkan dari Negeri Palembang Darussalam ke Betawi / Jakarta, kemudian dilanjutkan ke Ternate dengan status tetap sebagai Sultan Palembang Darussalam, karena SMB II tidak pernah membuat SURAT PERNYATAAN KALAH PERANG MELAWAN BELANDA atau TIDAK PERNAH MENYERAH atau TIDAK PERNAH MEMBUAT SURAT PERJANJIAN KALAH DENGAN BELANDA, yang biasa dilakukan oleh pihak yang kalah dalam Peperangan, baik berupa Lange Verklaring maupun Korte Verklaring, dengan kata lain TIDAK PERNAH MENYERAHKAN KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM KEPADA SIAPAPUN. Dalam pengasingan di Ternate ia tetap menjadi panutan masyarakat setempat karena di dalam dirinya terdapat karakter yang Ideal yaitu sebagai Ulama dan Umaroh Ideal sampai akhir hayatnya 26 November 1862.
Peristiwa 4 Syawal adalah sebuah momen yang penting bagi kita sebagai anak negeri (masyarakat) Palembang Darussalam. Pada saat itu adalah detik-detik terakhir pemberangkatan SMB II ke Batavia dan dilanjutkan ke Ternate (Maluku Utara). Pada saat ini peristiwa 4 Syawal bisa dijadikan Aset Pariwisata kota Palembang. Untuk mengenang Jasa-jasanya ada baiknya dituliskan kembali sebuah Syair SMB II yang dibuat oleh; cucu SMB II yang juga ikut dibuang ke Ternate yakni RADEN HAJI ABDUL HABIB PRABU DIRADJAH BIN PANGERAN PRABU DIRADJAH BIN SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II, Pada tanggal 9 SYAWAL 1316 H.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober 2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya. Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.





DAFTAR PUSTAKA
1. http://dodinp.multiply.com/reviews/item/25
2. http://www.indonesiaindonesia.com/f/4365-pahlawan-nasional-sultan-mahmud-badaruddin-ii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
footer